Kembali Kepada Asma-Nya
Bukankah seringkali ada banyak hal dalam kehidupan yang membawa kita kembali pada hal-hal yang sering kita lupakan? Sering pula proses “kembali” ini menjadi sesuatu yang dianggap sebagai kemenangan atau bahkan kemunduran, tergantung kepada arti apa yang ingin kita yakini.
Sebagaimana judulnya, anak pertama pada medium ini sejatinya bukan berangkat dari seseorang dengan kepemilikian religiusitas yang tinggi, melainkan berangkat dari keresahan, bahkan amarah, juga kecewa, yang berlanjut di tahap lelah, merasa bingung, lesu, dan berakhir kepada rasa takut, rasa berpasrah, dan ingin kembali kepada-Nya.
Tulisan ini merupakan memo masa lalu, sehingga ketidakjelasannya sangat boleh dimaknai sebagai gambaran kusut pikiranku kala itu. Pikiran yang dibawa arus, sempat singgah dimana-mana, hingga pada akhirnya menjadi sebuah jembatan yang sangat aneh tapi melegakan.
Reminiscence
Suatu malam, ku paksakan untuk menulis diksi-diksi di kepalaku karena takut bahwa keresahanku akan tiba-tiba hilang dimakan bunga tidur. Dalam coretanku tersebut, aku menjumpai diriku yang katanya menangisi diri sendiri di tengah-tengah momentum besar politik di negeri ini. Siapa sangka, turning point dapat ditemukan dalam pesta demokrasi yang bahkan secara bidang itu bukan keahlianku. Katakanlah sebagai masyarakat saja seringkali aku “abai” pada isu-isu yang ada.
Percayalah titik balik tersebut menghasilkan kelapangan yang kian besar dalam hatiku, keluasan dalam pikiranku, dan hikmah besar yang membuka banyak celah gelap nan hidup dalam nuraniku. Lho, memang apa yang terjadi? Kok, nampaknya sebermakna itu?
Di dalam politik, jelas bahwa ujian bukan hanya datang kepada mereka yang memahami, namun juga untuk mereka yang tidak, dan mereka yang baru mulai belajar. Lalu, aku ada dimana? yakni di sisi yang baru saja mempelajari. Apakah aku akan bahas politik? tidak juga, sebab itu hanyalah jembatan. Hal yang mengantarkanku ingin kembali adalah memori perputaran emosi yang aku rasakan pada saat itu saja.
Sebagai pembelajar, sebuah hal normal ketika kami melakukannya dengan riset; mencari tahu. Namun apa jadinya ketika yang ditampakkan adalah kenyataan-kenyataan yang ternyata menyesakkan. Hiperbolanya, seolah sudah diujung tanduk. Aku memang sering mendengar dan bahkan mengamini bahwa beberapa hal dalam negeri ini mengalami kemerosotan, entah itu dalam pendidikan, moral, identitas, dan lainnya. Namun pada momentum tersebut, rasanya aku terlalu terlambat untuk benar-benar menyadari, bahwa sangat mungkin bahwa aku menyumbang angka pada kemerosotan tersebut. Sedikit atau besarnya, aku merasakan hal itu sangat dimungkinkan benar karena aku sudah terlalu lama dalam sisi yang tidak mengatahui. Terlalu aman dan nyaman di dalam, sehingga terlalu jauh untuk menjangkau kenyataan.
Sungguh menyakitkan ketika dihadapkan dengan kembalinya kita pada kenyataan bahwa perwakilan adalah cerminan dari orang-orang yang diwakilinya. Jangan terlalu jauh membahas pemimpin negara, namun lihatlah dari yang paling dekat, diri kita sendiri yang diwakilinya apakah sudah mencerminkan apa yang kita inginkan? Sehingga lihatlah pula dalam jangkauan yang sedikit lebih besar, apakah komunitas sudah memiliki rata-rata kualitas yang diharapkan?
Memang bernada pesimis, tapi ada kalanya refleksi diwajibkan agar tidak membutakan. Bayangkanlah sebagai sebuah matematika. Ketika mengharapkan pemimpin yang kita inginkan, perlulah orang-orang yang dipimpinnya pun pada taraf yang kurang lebih sama. Ketika kita mengharapkan hasil A, hitunglah itu sebagai sebuah rata-rata dari B, dimana A itu adalah yang mewakili, dan B adalah yang diwakili.
Maka pemimpin yang terpilih atau yang terbaik untuk negara adalah cerminan dari masyarakatnya sendiri. Pemimpin yang lahir dan hidup dari lingkungan yang sama seperti kita. Dengan melihat komunitas saat ini, tidak dapat dipungkiri aku sedikit bersedih. Tetapi modal pesimis saja tidak cukup untuk membuat kita beranjak, perlu adanya ke-optimis-an dan kelapangan dalam menjalaninya.
Foolishness
Tidak berhenti disitu saja ternyata. Kesadaranku kian malam malah kian membaik. Bahwa pada akhirnya aku juga menyadari momentum saat itu mempengaruhi ke dalam berbagai aspek dalam kehidupanku. Aku harus kembali mengamalkan hal-hal dasar yang ternyata hilang dari hidupku. Aku harus kembali ke dalam jiwa belajar sehingga tidak menjadi musuh manusia, yaitu kebodohan. Sebab ternyata kebodohan itu menggerogoti dan berbahaya bukan hanya bagi diri sendiri saja.
Terlalu basa basi memang ku bahas tentang kronologis berbagai macam emosiku ini. Namun aku merasa ketika menghadapi sebuah pertarungan, hal yang harus kuhidupi terlebih dahulu adalah diriku sendiri. Untuk menghidupi bagian lain, nampaknya aku harus menghidupkan kembali jiwaku sendiri. Berkaca, menerima dalam merasa salah, serta menerima pembelajaran.
Barulah, akhirnya, asma Allah yang ku baca muncul sebab akibat dari kegelisahanku, ketakutanku, rasa kecewaku terhadap beberapa hal atas apa yang terjadi dan dirasakan sebelumnya. Ku pertanyakan banyak hal seperti pertanyaan tentang apakah kebodohanlah yang mendasari semua ini? pertanyaan mengenai apakah kebenaran kebatilan itu kian hari kian semu? hingga kajian tentang literasi (baca sebagai sebuah rasa kecewa pada penerapan literasi yang kini terjadi dan hasil yang tampak).
Setelah menyelami beberapa kajian untuk mendapatkan jawaban-jawaban tersebut melalui artikel-artikel, ku dapati bahwa aku kembali pada asma Allah, yaitu Al-Alaq ayat 1–5. Ayat-ayat yang memerintahkan nabi untuk bacalah dengan menyebut nama Tuhan yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Adapun menegaskan bahwa Tuhan adalah yang paling mulia, yang mengajarkan manusia pena, dan yang memberikan ilmu yang tidak diketahui manusia.
Mengilhaminya sebagai sebuah pembelajaran ternyata menghadirkan kelapangan dan kesadaran bahwa hal duniawi ini tidak ada apa-apanya jika kita tidak belajar. Kebodohan adalah musuh terbesar kita dalam membiarkan sebuah wadah terus menerus kosong, padahal dengan jelasnya Tuhan mengatakan akan memberikan ilmu yang yang tidak kita ketahui.
Beginning: Repeat
Sebuah fakta, bahwa aku pernah membuat tulisan serupa pada portal lain, yang menandakan bahwa bisa jadi kita akan lemah dan menemukan kembali titik balik kita yang lainnya. Aku senang sekali mengantarkan diksi-diksi ini sebagai pembuka (lagi) bagian kehidupanku yang kesekian, dengan sedikit me-recall kembali bengkel emosi lama yang cukup berkesan untuk aku.
Ku dedikasikan tulisan ini sebagai pengingat bahwa kita bisa mengalami perputaran dan itu tidaklah apa-apa. Tuhan memberikan banyak kita peluang untuk kembali. Pahitnya, tersesat pun akan terasa indah jika kita memang mau pulang.